Tiga Bahasa Daerah di Maluku Punah, Upaya Pelestarian Terus Digencarkan

Bahasa Daerah di Maluku
Baju Adat Daerah Maluku (Foto: Orami).

Bandungdaily.id – Kantor Bahasa Provinsi Maluku mengungkapkan bahwa dari 70 bahasa daerah yang terdata di wilayah Maluku, tiga di antaranya kini telah punah.

Bahasa yang dinyatakan punah adalah Hoti, Kaiely (Kayeli), dan Piru, yang berasal dari Kabupaten Seram Bagian Barat. Hal ini terjadi akibat tidak adanya lagi penutur aktif, terutama dari generasi muda.

Kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku, Kity Karenisa, mengungkapkan,  jumlah bahasa punah sebenarnya menurun dibandingkan tahun 2019, yang mencatat delapan bahasa punah.

Revisi data dilakukan setelah verifikasi lebih lanjut. Misalnya, bahasa Nila dan bahasa Serua, yang sebelumnya dinyatakan punah, ternyata masih memiliki penutur, terutama di wilayah Kecamatan Teon Nila Serua, Kabupaten Maluku Tengah.

Demikian pula dengan bahasa Hukumina dan bahasa Palumata, yang awalnya dianggap sebagai dua bahasa berbeda, kini diakui sebagai satu bahasa yang masih memiliki penutur.

Salah satu penyebab utama kepunahan bahasa daerah di Maluku adalah dominasi penggunaan bahasa Melayu Ambon.

Bahasa ini dianggap memudahkan komunikasi lintas masyarakat, tetapi secara tidak langsung melemahkan penggunaan bahasa daerah lainnya.

Generasi tua yang lebih memilih menggunakan Melayu Ambon dalam kehidupan sehari-hari turut mempercepat hilangnya vitalitas bahasa daerah.

“Ketika penutur muda tidak lagi menggunakan bahasa daerah, vitalitas bahasa menurun dan lambat laun memasuki tingkat daya hidup paling rendah, yaitu punah,” jelas Kity Karenisa, melansir Antara.

BACA JUGA: Ciri Khas Suku Baduy, Keunikan dalam Tradisi Sebagai Identitas Budaya

Untuk mencegah bertambahnya bahasa yang punah, Kantor Bahasa Provinsi Maluku terus mendorong berbagai upaya pelestarian, seperti:

  1. Kajian Vitalitas Bahasa: Memperbarui data dan memetakan tingkat daya hidup setiap bahasa di Maluku.
  2. Edukasi Penutur Muda: Meningkatkan kesadaran generasi muda akan pentingnya bahasa daerah sebagai identitas budaya.
  3. Dokumentasi Bahasa: Melakukan pendokumentasian melalui kamus, rekaman audio, dan video untuk memastikan bahasa yang hampir punah tetap terdokumentasi.
  4. Penguatan Peran Komunitas: Melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan kebudayaan yang menggunakan bahasa daerah, seperti seni tradisional, cerita rakyat, dan musik.

Harapan ke Depan

Dengan adanya pemutakhiran data pada tahun 2022 dan langkah-langkah pelestarian yang terus dilakukan, diharapkan jumlah bahasa punah di Maluku tidak akan bertambah.

Selain itu, revitalisasi bahasa daerah dapat memperkuat identitas budaya masyarakat Maluku di tengah arus globalisasi.

Bahasa adalah warisan budaya yang berharga. Pelestarian bahasa daerah bukan hanya tentang mempertahankan kata-kata, tetapi juga menjaga sejarah, tradisi, dan jati diri sebuah bangsa.

 

(Redaksi)