Bandungdaily.id – Di tengah tekanan hidup modern yang menuntut ketegaran tanpa henti, banyak orang lupa bahwa menangis sesungguhnya adalah bagian dari proses penyembuhan diri. Bukan sekadar luapan air mata, melainkan mekanisme alami tubuh untuk melepaskan beban emosional yang tak terlihat.
“Menangis itu seperti membersihkan lemari emosi,” ujar Serene Lee, psikoterapis sekaligus pendiri pusat konseling ICCT.sg, dikutip dari Channel News Asia, Jumat.
“Kalau dipendam terus, isinya menumpuk dan terasa berat. Dengan menangis, seseorang bisa kembali merasa seimbang dan manusiawi.”
Lee menjelaskan, menangis membantu tubuh melepaskan hormon stres seperti kortisol dan prolaktin melalui air mata. Ia mengibaratkannya seperti panci presto yang butuh katup untuk mengeluarkan tekanan. Setelah air mata tumpah, tubuh menjadi lebih rileks, napas terasa lebih dalam, dan pikiran lebih jernih.
Tak hanya karena kesedihan, menangis juga bisa muncul dari rasa syukur, kelegaan, atau ikatan emosional yang mendalam.
“Banyak orang menangis saat bahagia, karena tubuh tak hanya mengenali duka, tapi juga intensitas cinta dan rasa syukur,” tambah Lee.
Namun, di banyak budaya termasuk di lingkungan profesional menangis masih dianggap tabu, terutama bagi perempuan dan laki-laki dewasa.
Menurut Dr. Alla Demutska, Direktur Klinis Psikoterapi dan Konseling di School of Positive Psychology, perbedaan ini bukan murni faktor biologis, melainkan norma sosial yang membentuk cara kita mengekspresikan emosi.
Sebuah studi terhadap lebih dari 7.000 individu dari 37 negara menemukan bahwa perempuan menangis 30 hingga 64 kali per tahun, sementara laki-laki hanya 5 hingga 17 kali.
“Perempuan khawatir dicap terlalu emosional, sementara laki-laki tumbuh dengan keyakinan bahwa menangis adalah tanda kelemahan,” jelas Demutska.
“Padahal, menangis justru menandakan bahwa seseorang cukup kuat untuk menghadapi dan mengenali emosinya.”
Namun, Demutska juga mengingatkan bahwa tidak semua tangisan menyehatkan. Menangis berlebihan hingga mengganggu aktivitas sehari-hari atau muncul tanpa sebab jelas bisa menjadi indikasi adanya gangguan depresi, duka mendalam, atau trauma.
Sebaliknya, seseorang yang tidak pernah menangis sama sekali juga perlu waspada, karena bisa menunjukkan mati rasa emosional atau mekanisme penghindaran.
Pada akhirnya, menangis bukan tentang kelemahan, melainkan tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri.
Dalam dunia yang sering memuja ketegaran, membiarkan air mata mengalir bisa menjadi bentuk perlawanan paling manusiawi, sebuah pengingat lembut bahwa kita tidak harus selalu kuat setiap waktu.
(Redaksi)












